kebijakan Pendidikan islam indonesia masa penjajahan ,orla,orba dan reformasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG.
Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari perkembangan sejarah
bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa sekarang (reformasi).
Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, Madrasah, Surau, dan
semacamnya mempunyai andil besar terhadap proses pemerdekaan bangsa dari
belenggu penjajah. Lembaga-lembaga tersebut menjadi tempat dan simbol
perlawanan terhadap penjajah. Kenyataannya bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam , sejarah pendidikan
islam di Indonesia mencakupfakta atau kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan pendidikan islam di Indonesia, baik formal
maupun non formal.
B.Rumusan Masalah
Bagaimana kebijakan Pendidikan islam indonesia masa penjajahan ,orla,orba dan reformasi
C.Tujuan Pembahasan
Mengetahui Kebijakan Pada pendidikan islam
di masa penjajahan ,orla,orba dan reformasi.
D.Pengertian Kebijakan dan
pendidikan Islam
Kebijakan menurut “Syafaruddin mengartikan kebijakan publik sebagai hasil pengambilan keputusan
oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan
dengan hal-hal strategis untuk megarahkan pada manager dan personel dalam
menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.”[1] Pendidikan islam adalah.”Istilah pendidikan islam tidak
lagi hanya berarti pengajaran agama saja akan tetapi mencakup arti pendidikan
di semua cabang ilmu pengetahuan yang di ajarkan dari sudut pandang Islam”[2]..
BAB II.
PEMBAHASAN
A.Kebijakan Zaman Penjajahan Belanda pada pendidikan islam.
Indonesia merupakan Negara
berpenduduk Mayoritas Islam. Agama Islam secara terus-menerus menyadarkan
pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkeraman pemerintah
kafir. Perlawanan dari raja-raja Islam terhadap pemerintahan kolonial bagai tak
pernah henti,Belanda menyadari bahwa perlawanan itu diinspirasi oleh ajaran
Islam.,Dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan
lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan bangsawan.
Kebijaksanaan Belanda dalam mengatur jalanya pendidikan tentu saja
dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri, teurtama untuk kepentingan
agama Kristen. Sedang Pendidikan agama Islam yang telah ada di pondok pesantren,surau,
mesjid dan mushalla atau yang lainnya dianggap tidak membantu pemerintah Belanda.
Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin, yang secara resmi menjadi
acuan pada waktu itu.Politik yang dijalankan pemerintah belanda terhadap rakyat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan oleh adanya rasa
ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya.
Sehingga begitu mereka tetapkan berbagai
peraturan dan kebijakan, diantaranya : Pada tahun 1882 pemerintah Belanda
membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasihat badan
inilah maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang
isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih
dulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.keluar lagi peraturan yang lebih
ketat terhadap pendidikan Islam, yaitu bahwa tidak semua orang Kyai boleh
memberikan pelajaran mengaji kecuali mendapat semacam rekomondasi atas
persetujuan pemerintah Belanda.Kemudian pada tahun 1932 keluar lagi peraturan
yang isinya beberapa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah /sekolah
yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh
pemerintah Belanda yang disebut Ordonasies Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie). Tidak hanya sampai disitu, agama Islam dipelajari
secara Ilmiah dinegeri Belanda. semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan
kekuasaan Belanda di Indonesia. hasil dari kajian itu, lahirlah apa yang
dikenal dengan “Politik Islam”. Tokoh utama dan peletak dasarnya adalah
Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia antara tahun 1889 dan 1906.
Berkat pengalamannya di Timur tengah, sarjana sastra semit ini berhasil
menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia,
yang menjadi pelopor pedoman bagi pemerintah Hindia-Belanda, terutama Adviseur
voor Inlandsche zaken, Lembaga penasihat gubernur jenderal tentang
segala sestuatu mengenai pribumi. Berdasarkan analisisnya, Islam dapat
dibedakan menjadi dua bagian, yang satu Islam religius dan Islam Politik . Dan ternyata apa yang
disaranka oleh Snouck Hurgrinje tersebut akhirnya justru menjadi kebijaksanaan
pemerintah Hindia – Belanda terhadap Islam Indonesia. Adapun intisari dan
saran-saran Snouck Hurgronje tersebut adalah :
- Menyarankan kepada pemerintha Hindia-belanda agar Netral terhadap agama yakni tidak ikut campur tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama yang ada (tapi tampaknya hal ini bersifat teori belaka). menurut snouck, fanatisme Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
- Permerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuknya Pan Islamisme yang sedang berkembang di Timur tengah, dengan menghalangi masuknya buku, brosur dari luar ke wilayah Indonesia. mengawasi kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang pergi ke Mekkah, dan bahkan kalau memungkinkan melarangnya sama sekali.
Pendidikan untuk komunitas muslim
relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah
berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia.
B.Pendidikan Islam pada masa
penjajahan Jepang
Tahun 1942-1945 Pendidikan islam zaman penjajahan
jepang dimulai , Dalam perang pasifik (perang dunia ke II), jepang memenangkan
peperangan pada tahun 1942 berhasil merebut indonesia dari kekuasaan belanda.
Perpindahan kekuasaan ini terjadi ketika kolonial belanda menyerah tanpa
sayarat kepada sekutu.[3]Penjajahan
jepang di indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya)
dengan semboyan itu Jepang mengumumkan
rencana mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun
1940. Jepang akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria,
daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia.[4]
Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah
satu atap).Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat,
Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer
dalam peperangan pasifik.[5]Februari
1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas
terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara
lain
1.Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.
2.Adanya integrasi sistem pendidikan dengan
dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan
Belanda.dan khusus pendidikan Islam,
Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
3.Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa
Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
4.Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang
mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan
K.H. Zainal Arifin.
5.Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6.Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk
barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di
zaman kemerdekaan
7.Diizinkannya Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas
besar Islam, Muhammadiyah dan NU[6]
C.Pendidikan Islam zaman Orde Lama(Tahun
1945-1965)
Kuatnya perpolitikan intern partai dan
pecahnya pemberontakan daerah yang disebabkan sentimen keislaman mengakibatkan
hancurnya demokrasi.[7]Untuk
mendamaikan diantara partai politik yang bertikai, Presiden Indonesia (Ir.
Soekarno) memberlakukan demokrasi terpimpin dengan maksud untuk menyatukan
bangsa Indonesia yang dikenal dengan nasakom (nasional, agama dan
komunisme)[8]Sementara
penyelenggaraan pendidikan agama pada awal kemerdekaan telah mendapat perhatian
khusus dari pemerintah baik pada lembaga pendidikan swasta maupun negeri.Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27 Desember 1945 yang
menyebutkan bahwa; Madrasah dan pesantren yang pada dasarnya merupakan satu
alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dan
menguat dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaknya pula mendapat perhatian
dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.[9]
maka pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara
Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan
agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta) yang berada dibawah naungan
Departemen Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan.[10]Selanjutnya
dari SKB tersebut secara khusus diperkuat lagi kedalam UU Nomor 4 tahun 1950
pada BAB XII pasal 20 sebagai berikut:Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan
pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran tersebut.Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri di atur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. Sementara
itu pada Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama nomor 1432/Kab.
Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), diatur tentang peraturan
pendidikan agama di sekolah-sekolah sebagaimana yang dimaksud dalam UU, yaitu:
Pasal 1:
|
Ditiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan
(umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama.
|
Pasal 2:
|
Di sekolah rendah pendidikan agama
dimulai pada kelas 4; banyaknya 2 jam dalam satu minggu
|
Pasal 3
|
Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan
tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan,
diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
|
Pasal 4:
|
1.Pendidikan agama diberikan
menurut agama murid masing-masing.
|
pendidikan agama baru diberikan
pada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang, yang
menganut suatu macam agama.
|
|
2.Murid dalam suatu kelas yang
memeluk agama lain dari pada agama yang sedang diajarkan pada sutau waktu
boleh meninggalkan kelas-nya selama pelajaran itu.
|
Di bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan
penyempurnaan-penyempurnaan, dalam hal ini telah dibentuk kepanitiaan yang
dipimpin oleh KH Imam Zarkasyi dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Kurikulum
tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.Begitulah keadaan
pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman orde lama.
Pada akhir orde lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi umat Islam,
dimantapkan. Dalam hubungan ini Kementerian Agama telah mencanangkan
rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan
jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut:
1.Pesantren Klasik, semacam sekolah swasta keagamaan
yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang
bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta
pelaksanaan ibadah masyarakat yang hidup serta bekerja sama mengerjakan tanah
milik pesantren agar dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
2.Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang
memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran
berlangsung di dalam kelas, kira-kira 10 jam seminggu, di waktu sore, pada
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (4 tahun pada Sekolah Dasar dan 3 sampai 6
tahun pada Sekolah Menengah). Pendidikan Teologi tertinggi, pada tingkat
Universitas diberikan resmi sejak tahun 1960 padaIAIN. IAIN ini dimulai dengan
dua bagian atau dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.[11]
IV. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Dalam Pasal
4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 tersebut selanjutnya disebutkan tentang isi
pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi
pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi
pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan
ketrampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang
kuat dan sehat.
Menurut UU
Nomor 2 tahun 1989 tersebut, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur,
memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Di tengah
berkobarnya revolusi fisik, pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan agama.
Pembinaan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada
Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu,
dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut
untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun
swasta.Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia,
yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen Agama
mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di
sekolah-sekolah umum. Keadaan seperti ini sempat dipertentangkan oleh
pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama
golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam,
terpisah dari pendidikan.
Pada tahun
1973-1978 dan 1983 dalam sidang MPR yang
kemudian menyusun GBHN.Selain itu, dalam Pelita IV di bidang dipendidikan Islam dimasukkan dalam kurikulum..
Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah
di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade
terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di
kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu
pendidikan. sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di
tempuh pemerintah dengan mengeluarkan
suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor.34.tanggal.18April tahun 1972 tentang
tanggung jawab fungsional :
1 Menteri
pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan.
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian,kejuruan,tenaga-kerja,pns.
3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan,latihan.Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan dalam sekolah negeri, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama dilembaga pendidikan umum. menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-pendidikan. Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan,agama yang di anut oleh masing masing individu.UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswaberdasarkan agama.
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian,kejuruan,tenaga-kerja,pns.
3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan,latihan.Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan dalam sekolah negeri, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama dilembaga pendidikan umum. menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-pendidikan. Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan,agama yang di anut oleh masing masing individu.UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswaberdasarkan agama.
Lahirnya
Kurikulum 1984 Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum
Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh
Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem
Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain
dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai
upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan
madrasah.Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut lahirlah "Kurikulum
1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 99
tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah
dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.Kekhususan MAPK ini adalah
komposisi kurikulum 65 studi agama dan 35 pendidikan dasar umum Sasarannya
adalah penyiapan lulusan yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya
menjadi dasar lulusan untuk terus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
bidang keagamaan dan akhirnya menjadi calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK
berganti nama menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut
program ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai
hari ini belum jelas keberadaannya.Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989,
memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan
agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai
konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional
undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP
28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP.
No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua
itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.UU dan peraturan
pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga
pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut
lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari
sistem pendidikan nasional .
E.Pendidikan Pada masa Reformasi
Tumbangnya
rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah
perubahan dan pembaruan dalam bidangpendidikan, Selanjutnya pada tahun 2003
ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut
dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini
pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12 ayat a).
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang
seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan,sebagaimana-diaturdalampasal41ayat3.
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan
Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang
agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa
(misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik).UU
Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan
Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta.
Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah
wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1
ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur
dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan,
biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulumdankomponenpendidikannya.Perjalanan
kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah
menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis
kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi
peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar
siswa Aktif (CBSA)Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama
juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib
sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata
pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama,
dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian
halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program
pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan
Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi,
Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum
1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi
jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih
menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde
baru menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu
agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana
yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak
pihak.Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.Dalam
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah pasal 12
yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik.
"Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidikan yang seagama," (Pasal 12 ayat a).Dalam bagian penjelasan
diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta
didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41
ayat 3.UU ini juga sekaligus "mengubur" bagian dari UU No. 2/1989 dan
Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan
latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang
dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama
Katolik).UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan
pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.UU Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan
konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik
negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa `kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.`Dalam
penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, `pendidikan agama dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia`. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah
umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan
prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen
pendidikan lainnya.Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir,
pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran
Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi
keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode
Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru
tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat
kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah
bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan
disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP masih
berlaku sampai sekarang.
Kesimpulan
Pendidikan islam khususnya
pondok pesantren dan madrasah
madrasah kalau tidak adanya zaman
penjajahan khususnya belanda akan menjadi Feeder institution sumber input bagi
lembaga lembaga islam negeri 14. Sebab
,Nurcholis Madjid melihat lebih dari itu
“Pesantren “dimungkinkan sebagai pendidikan
Masa depan bangsa
indonesia.Menyadari keunggulan pesantren dengan mengutip Pernyataan Nur Cholish
Madjid ,A.malik Fadjar menulis,
Seandainya negeri kita tidak
mengalami penjajahan ,kata nur cholish Madjid ,tentulah pertumbuhan pertumbuhan
sistem pendidikan di indonesia akan mengikuti jalur jalur yang di tempuh
pesantren itu.sehingga perguruan tinggi negeri itu bukan Berupa
UI,ITB,IPB,UGM,UNAIR ,dan lain lain ,akan tetapi mungkin akan bernama Universitas
Tremas,Universitas Krapyak,Tebu Ireng,Bangkalan,lasem dan sebagainya.mungkin
juga jika kita tidak pernah di jajah ,pesantren tidak jauh terperosok ke dalam
daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang ,melainkan tentunya akan berada
di kota – kota dekat dengan kekuasaan
atau ekonomi,sekurang kurangnya tidak jauh dari itu,sebagai mana sekolah
sekolah keagamaan di barat yang kemudian tumbuh menjadi
universitas-universitas.15
Mulai terlihat kebijakan pemerintah yang berkontribusi positif
terhadap pendidikan islam kemudian di susul dengan munculnya SKB 3 menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu madrasah
dengan diakuinya ijazah madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah
nilai sekolah umum.Sejak di keluarkannya SKB 3 menteri yang di lanjutkan dengan
SKB 2 menteri, secara formal madrasah sudah menjadi sekolah umum yang
menjadikan agama sebagai ciri khas kelembagannya. Kebijakan pemerintah dalam 2
SKB diatas menimbulkan di lema baru bagi Madrasah. Disatu pihak materi
pengetahuan umum bagi madarasah secara kuantitas dan kualitas mengalami
peningkatan, tetapi di pihak lain penguasaan murid terhadap pengetahuan agama
menjadi serba tanggung . menyadari kondisi seperti itu muncul keinginan
pemerintah untuk mendirikan MA yang bersifat khusus yang kemudian dikaenal
dengan Madrasah Aliah Program khusus ( MAPK) Walaupun secara substansial sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah
Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya
anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi
dibanding dengan negara-negara maju.
______________________________________
14.Fazlur
Rahman,islam dan modernitas,tentang transformasi intelektual,terj.Ahsin
Mohammad,cet. Ke-1(Bandung:Pustaka,1982),h.152
15.Malik
Fajar ,A.,”Sintesa AntaraPerguruan Tinggi dan Pesantren ,Upaya
menghadirkan wacana pendidikan Alternatif”.dalam nurcholish Madjid ,Bilik-Bilik,h.112-113.
Pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan legal
formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden
Soeharto mengeluarkan (Keppres) No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 15 tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan .
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah
pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta
didik. "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidikan yang seagama.
DAFTAR
RUJUKAN
BJ. Boland, Pergumulan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)
Brojonegoro,S, Sejarah Pendidikan Islam, dan Diklat
Kuliah Sejarah Pendidikan Islam, oleh
HR Mubangid
http//www.imammahmudi.ca/138kebijakan
pendidikan islamdari masamenuju keadilan.html
http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis©2008 Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam - Kementerian Agama Republik Indonesia
Malik Fajar ,A.,”Sintesa AntaraPerguruan
Tinggi dan Pesantren ,Upaya menghadirkan wacana pendidikan
Alternatif”.dalam nurcholish Madjid ,Bilik-Bilik
Mudyaharjo,
Redja ,pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 )
Rahman ,
Fazlur,islam dan modernitas,tentang transformasi intelektual,terj.Ahsin
Mohammad,cet. Ke-1(Bandung:Pustaka,1982).
Suminto,
H. Aqib, Politik Islam HIndia-Belanda, (Jakarta :LP3ES, 1985)
Suwendi, sejarah dan pemikiran
pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004),
Nizar,
Samsul,sejarahpergolakanpemikiran
pendidikan islam(PT.Ciputat Press Group,2005)
Timur Djaelani ,HA., Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia.
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1980),
Zahara Idris, Dasar-Dasar
Kependidikan. (Bandung: Angkasa, 1981
[1] http//www.imammahmudi.ca/138kebijakan
pendidikan islamdari masamenuju keadilan.html
[3] Http://Mihwanuddin.WordPrees.com/2011/01/03.pendidikan
silam-pendidikan masa penjajah/
[4] Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan islam
(Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004),hlm 58
[6] Redja mudyaharjo, pengantar pendidikan (jakarta
: PT Grafindo Persada, 2001 ), 267
[7] Http://mangunbudiyanto.wordprees.c0m.2010/06/20/pendidiksn
islam-orde lama//
[8] BJ. Boland, Pergumulan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 106.
[9] HA. Timur
Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1980), 135.
[10]
Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan.
(Bandung: Angkasa, 1981), 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar