Selasa, 10 Januari 2012


MENUJU KEMESRAAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
























BAB I
PENDAHULUAN
Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu.
Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai  dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional.
Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal (QS Yunus, 10: 101; QS al-Rad, 13: 3), yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.
Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi mala petaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan[1]. Menurut M Amin Abdullah,[2] Ibnu Rusyd merupakan ilmuwan muslim pertama yang menggunakan metode integralistik-teosentrik.
Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokkan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Pada saat itu ada sikap penolakan terhadap ilmu ilmu yang bersumber dari penalaran akal seperti ilmu filsafat, ilmu matematika dan lain-lain.[3]
Sikap ini muncul akibat perbedaan pemikiran yang menimbulkan adanya golongan-golongan dalam Islam. Sehingga umat Islam pada saat itu mulai meninggalkan ilmu-ilmu yang dikategorikan dalam ilmu umum (ilmu dunia) dan mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, untuk menanggulangi kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang, khususnya di bidang ilmu pengetahuan, tentunya diperlukan suatu pandangan yang integral dan komprehensif mengenai hubungan antara agama dan ilmu itu sendiri.



BAB II
PEMBAHASAN
A.           KOMPILASI PENGERTIAN INTEGRASI, ILMU, AGAMA DAN KORELASINYA
Di dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mengartikan kata integrasi dengan penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Integrasi merupakan usaha untuk menjadikan dua atau lebih hal menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ilmu dalam bahasa indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris science yang berarti mengetahui dan belajar, maka ilmu dapat berarti usaha untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu yang bersifat empiris dan melalui suatu cara tertentu. Menurut James Conant (Fatah Santoso, 2004: 24) ilmu adalah suatu deretan konsep dan skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, yang tumbuh sebagai hasil eksperimen serta observasi, dan berguna untuk diamati serta dieksperimentasikan lebih lanjut.
Lebih lanjut, terminologi (istilah) ilmu merupakan sesuatu yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama.
Ilmu dapat pula dibedakan berdasarkan maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam arti pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah.
Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti ‘tahu’. Dalam bahasa Inggris di sebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktifitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sebagai aktifitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. 
Titus mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat membuktikan kebenarannya.
Sedangkan, konsep mengenai agama memiliki banyak sekali definisi (Endang Saefudin Anshari, 1987: 117-118), hal ini dikarenakan sifatnya yang subjektif sehingga definisinya pun beragam sesuai dengan pemikiran orang yang mendefinisikan tersebut.
Dalam Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 November 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama tersebut.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan.
Selain dua pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk “negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.
Agama yang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman disebut religion atau dalam bahasa Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu  relege (to treat carefully), relegare (to bind together) dan religare (to recover).
Dalam Islam ‘agama’ disebut dengan ‘dien’ yang oleh Moenawar Chalil dijelaskan bahwa: “Kata dien itu mashdar dari kata kerja daana – yadienu. Menurut lughat, kata dien itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: cara atu adat istiadat, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan,  perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama.”
Dalam Filsafat Perennial, agama memiliki dimensi eksoterik (bentuk) dan esoterik (substansi). Secara eksoterik di dunia ini dikenal banyak agama, namun diantara keragaman agama tersebut setiap agama memiliki substansi yang menjadi titik temu bagi keragaman tersebut. Agama yang dimaksud dalam tulisan ini secara eksoterik adalah Islam, namun secara esoterik tentu Islam memiliki nilai-nilai universal yang juga ada setiap agama.
Dari banyaknya definisi yang ada, agama yang dimaksud di sini adalah agama Islam, yakni agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berlandaskan kitab suci al-Qur‘an.
Jadi yang dimaksud dengan integrasi ilmu dan agama adalah upaya untuk menyatukan antara ilmu dan agama Islam agar tidak terpisahkan satu sama lainnya.
B.            ASAL MULA INTEGRASI ILMU
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim, antara lain Naquid Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[4], tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia, misalnya berpendapat bahwa umat islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini, menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda.
Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu (Osman Bakar, 1998: 612). Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama:
a.    Munculnya anbivalensi dalam sistem pendidikan islam
b.    Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam
c.    Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan islam
d.   Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.    Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat, dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius.
b.    Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan, ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, dan ilmu tentang kewajiban manusia pada jiwanya sendiri.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum kedalam beberapa ilmu yaitu:
a.    Matematika, yang terdiri dari aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, dan musik
b.    Logika
c.    Fisika atau ilmu alam, yang terdiri dari kedokteran, meteorologi, minerologi, dan kimia
d.   Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika, meliputi ontologi, pengetahuan tentang esensi, pengetahuan tentang subtansi sederhana, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, dan ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak.
C.             PERWUJUDAN INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Keterkaitan Islam dengan ilmu umum sebetulnya kelihatan sangat jelas. Tetapi anehnya, ada saja sementara orang masih kebingungan. Mereka yang bingung itu mengatakan bahwa, bagaimana mengkaitkan antara fisika dengan fiqh, masailul fiqh dengan biologi, kimia dengan perbandingan madzah, dan lain-lain. Biasanya orang yang kebingungan, atau sengaja membingungkan diri itu membuat contoh-contoh tersebut untuk membenarkan pendapatnya, bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Akar masalahnya sebenarnya adalah sederhana, yaitu mereka ingin menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu yang selama itu dikembangkan dan digelutinya. Kecintaannya itu ditunjukkan lewat pendapat, bahwa ilmu ke-Islaman tidak bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama dibawah naungan KEMENAG (Kementerian Agama) sedangkan lembaga pendidikan yang umum berada dibawah KEMENDIKNAS (Kementerian Pendidikan Nasional). Pandangan masyarakat terhadap kedua tipe lembaga pendidikan ini mengisyaratkan secara implisit bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum memang harus dipisah.[5]
Mereka mengkhawatirkan, ilmu yang dicintai itu terkalahkan oleh disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, ketika ada isu perubahan IAIN atau STAIN menjadi UIN, mereka segera mempertanyakan posisi ilmu agama ke depan, jangan-jangan akan berakibat sepi peminat, dan  bahkan mati.
Padahal sebenarnya, dengan konsep integrasi ilmu itu, justru yang disebut ilmu agama menjadi lebih berkembang. Kehadiran UIN dengan konsep integrasi dan atau interkoneksi itu dimaksudkan justru menghidupkan kembali ilmu agama. Ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, adab, dakwah dan lain-lain akan lebih berkembang. Bahkan perkembangan itu juga akan menyangkut perspektif atau metodologinya.
Memang mungkin ada resiko, yaitu misalnya akan terjadi perubahan atau pengembangan wilayah kajian, konsep, dan lain-lain, sebagai hal logis dari bagian ilmu pengetahuan yang memang seharusnya selalu berkembang.
D.           DINAMIKA DIALEKTIS SEPUTAR INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Di tengah pro dan kontra, pandangan akan diskursus integrasi agama dan ilmu dewasa ini semakin lama semakin popular. Jargon yang dikembangkan sekarang adalah bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban yang tinggi. Bahkan juga muncul kritik tajam dari sebagian  kalangan dengan mengatakan  bahwa,  kemunduran ummat Islam, diantaranya adalah sebagai akibat  adanya dikotomi ilmu pengetahuan itu.
Bagi  orang  yang sudah lama  menggeluti bidang fiqh, aqidah, akhlak, tarekh, dan lain-lain,  atau  disebut sebagai ilmu agama,  ingin bertahan, bahwa ilmu agama harus dipertahankan dan tidak seharusnya diintegrasikan. Hasil pemikiran para ulama yang sudah sekian tahun, dan telah  terdokumentasi menjadi berbagai buku, kitab atau literatur, semua itu harus disebut sebagai ilmu, atau tegasnya  ilmu agama.  Mereka belum percaya dengan konsep baru tersebut, ilmu agama akan masih bisa bertahan.
Hal  itu mendasarkan  pada kenyataan  bahwa sumber-sumber rujukan yang digunakan adalah ayat-ayat al Qurán dan hadits nabi. Maka itulah sebabnya, kajian  tersebut dinamai sebagai kajian Islam. Sampai di sini kiranya tidak ada pihak-pihak yang membantah. Namun ada saja sementara orang yang  mengkritisi dengan mengatakan bahwa Islam tidak hanya menyangkut persoalan fiqh, tauhid, akhlakh, tasawwuf, dan tarekh. Islam lebih luas dari sebatas ilmu yang diklaim sebagai ilmu ke-Islaman itu.
Kitab suci al Qurán dan hadits nabi juga memerintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan tentang ciptaan langit dan bumi,  menyuruh umat Islam untuk berpikir, memperhatikan, dan melihat alam  semesta ini. Bahkan dalam al Qurán disebutkan ayat-ayat yang menantang manusia untuk memperhatikan alam hingga sekecil-kecilnya, misalnya dengan kalimat: “tidakkah kau perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan  bumi dihamparkan.”  Ayat-ayat al Qurán seperti itu,  jika diresapi maknanya secara mendalam, maka sebenarnya secara langsung dapat diartikan  sebagai  anjuran untuk mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
Persoalannya adalah bahwa selama ini  ayat-ayat seperti itu belum dijadikan dasar oleh para ilmuwan tatkala mereka mempelajari alam. Para ilmuwan, seperti ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya dalam mengembangkan ilmunya tidak selalu mendasarkan pada ayat al Qurán.
Sementara lainnya, orang-orang yang menekuni al Qurán dan hadits selalu berhenti pada kajian kitab suci itu saja. Kajian al Qurán yang dilakukan tidak sampai  melahirkan  semangat  untuk mengkaji ciptaan Allah secara mendalam lewat kajian ilmiah sebagaimana yang dipesan al Qurán itu.
Inilah problem umat Islam yang sebenarnya. Pemikiran untuk mengintegrasikan agama dengan ilmu pun belum bisa diwujudkan secara lengkap dan sempurna. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa keinginan untuk mengintegrasikannya pun masih terjadi dikotomi. Yakni tidak seimbangnya kajian tentang al-Qur’an dengan penerapan di dalam mengkajinya secara ilmiah ke dalam ilmu pengetahuan. Begitu pun sebaliknya, yakni pengkajian keilmuan dilakukan secara ilmiah tetapi tidak dibarengi dengan mengkaji al-Qur’an.
Pemikirannya yang dikotomistik ini diperparah lagi dengan adanya imperialisme dari Barat, yang mana juga memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler positivistik ke Dunia Islam. Hal ini mengakibatkan semakin jelasnya perpisahan ilmu agama yang dipertahankan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional dan ilmu umum yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan umum yang sekuler.[6]
Seiring dengan perkembangan zaman, hubungan antara ilmu dan agama mengalami perubahan. Hubungan yang dimaksud adalah integrasi dan sekulerisasi. Pihak yang menginginkan integrasi, mengusulkan agar ilmu dan agama disatukan kembali, karena telah mengakibatkan banyak sekali bencana kemanusiaan. Sedangkan pihak yang mengusulkan adanya sekulerisasi dalam kehidupan, menginginkan seluruh segi kehidupan dipisahkan dari agama, termasuk bidang ilmu pengetahuan. Bahkan ada sebagian cendekiawan muslim yang mengancam akan mengislamkan sains modern dengan mencocokkannya dengan ayat-ayat al-Qur‘an (Nasim But, 1996: 46).
Upaya integrasi ilmu dan agama di Indonesia telah diupayakan oleh para pemikir Muslim dan penentu kebijakan. Sebagai contoh adanya upaya untuk mengubah lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN) menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga beberapa IAIN telah diubah menjadi UIN. Mau tidak mau dalam mata kuliah UIN harus mengandung mata kuliah ilmu pengetahuan umum dan mendirikan fakultas non-agama Islam (Adian Husaini, 2008: 54-64).
Para cendekiawan Muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi pengetahuan. Upaya islamisasi pengetahuan bagi kalangan Muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia modern, memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras mentransformasikan normatifitas agama, melalui rujukan utamanya al-Qur‘an dan Hadits, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan Muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar (Happy Susanto, 2008).
Kemunculan ide islamisasi ilmu pengetahuan tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara ilmu dan agama. Sekulerisme telah membuat ilmu sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide islamisasi ilmu pengetahuan masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang mengusulkan pertama kali secara resmi upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat Isma’il Raji al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.[7]
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada al- Qur‘an, menjadikan al-Qur‘an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur‘an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ’alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektifikasi ajaran Islam.[8]
E.            TIPOLOGI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTEGRASI SAINS DAN AGAMA
Ian G. Barbour dalam bukunya Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama mengatakan bahwa hubungan sains dan agama selama ini mengkonstruk dalam empat gubungan, yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi (Barbour, 2005:12).
Dalam hubungan konflik, sains dan agama saling menegaskan kebenaran yang lain (kontradiktif). Contoh nyata dalam hal ini adalah terjadinya penghukuman terhadap Galileo Galilei yang diberikan Gereja Katolik pada abad ke-17. Namun, tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap permusuhan seperti itu.
Sebagian besar justru menganut pandangan independensi yakni bahwa sains dan agama mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan satu sama lain. Agama dianggap sebagai nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dalam hubungan dialogis, sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lain. Pendapat ini tercermin dari perkataan fisikawan besar Albert Einstein, “Religion without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam hubungan integratif, baik sains maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan kenyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Pandangan integrative yang lebih fundamental atas pandangan pluralisme epistemologi postmodern baik sain maupun agama dapat bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubyektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, maupun filsafat yang setara satu sama lainnya (Barbour, 2005:12).
Ian G. Barbour memaknai konsep integrasi di dalam hubungannya antara agama dan ilmu menjadi dua. Pertama, bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi,  yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial.
Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.
Ada beragam konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen kontemporer Ian Barbour mengajukan konsep yang dikenal sebagai integrasi teologis. Konsep ini berusaha mencari implikasi teologis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”.
Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandangan dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’ apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.
Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu.
Sedangkan Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani  menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.[9]
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).[10] Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.[11]
Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
F.      TELISIK TEKSTUAL ALQURAN DAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS)
Agama Islam menempatkan ilmu dan ilmuwan dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS al-Mujaadilah, 58: 11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash baik al-Qur‘an maupun al-Sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu yakni perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam QS al-‘Alaq.
Artinya:


Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.[12] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq, 96: 1-5).

Umat Islam mendapatkan semangat yang luar biasa karena banyak sekali perintah atau nash yang menyinggung masalah keilmuan. Hal ini bisa dilihat pada masa awal Islam, banyak sekali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal dari agama dan peradaban selain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan Persia.
Namun usaha yang dilakukan tidak terbatas sebagai penerjemah saja, tapi juga memberikan tambahan berupa saran dan kritik terhadap ilmu yang dipelajari dari luar tersebut dan juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan suatu teori baru.
Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan (QS.Al-Nahl: 78). Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[13]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Namun Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali.[14]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[15]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[16]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Integrasi ilmu agama dan umum hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut.
Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan jagat raya, bukan malah menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi, dan destruksi alam. Nilai-nilai itu tidak bisa tercapai bila dikotomi ilmu masih ada seperti yang terjadi saat ini.
Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman, tetapi mempunyai legitimasi yang kuat secara normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara historis dari perilaku para ulama islam yang telah membuktikan sosoknya sebagai ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kemajuan peradaban manusia.
Saat ini, bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan baik oleh pemerintah sendiri maupun para intelektual muslim. Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan Tinggi islam masih menyisakan perdebatan inter maupun ekstern mereka sendiri.Karenanya, model integrasi yang dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari semua komponen masyarakat pendidikan Indonesia.
Integrasi ilmu adalah keharusan bagi umat islam, oleh karenanya tanggung jawab ini bukan hanya kewajiban pemerintah semata dan Perguruan Tinggi Agama Islam, tapi juga kalangan Perguruan Tinggi Umum dan seluruh umat islam yang menginginkan kemajuan islam dan peradaban manusia yang lebih maju dari humanis.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet.I. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006.
_______, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Cet I. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Tanpa kota: tanpa penerbit, 1995.
Azra, Azyumardi. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
Bagir, Zainal Abidin (ed). Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab. Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, terjemahan Judi Al-Falasany. “Pendidikan Dalam Alquran”. Semarang: Penerbit CV. Wicaksana, 1989.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Tanpa kota: tanpa penerbit, 2005.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju, 2005.
Nata, Abuddin. dkk. ”Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Said, Nurman. dkk. Sinergi Agama dan Sains. (ed) Cet I. Makassar: Alauddin Press, 2005.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Cet. I. Bandung: Mizan, 1992.


[1] Abudin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Hal. 115.
[2] Pengantar dalam Ibn Rusyd, Lihat: M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Hal. ii.
[3] Abuddin Nata, Integrasi Ilmu, Hal. 115.
[4] Ismail Raji’Al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, (tanpa kota: tanpa penerbit, 1995). Hal. ix-xii.
[5] Pengantar dalam Ibn Rusyd, Lihat: Abdullah, M. Amin. Islamic Studies, Hal. xiii.
[6] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (tanpa kota: tanpa penerbit, 2005) Hal. 20.
[7] Isma’il, Islamization, 1995. Hal. 55-57.
[8] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2005). Hal. 7-11.
[9] Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 206- 211.
[10] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Hal. 57-58.
[11] Zainal Abidin Bagir (ed), Reintegrasi Ilmu-ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 49 – 50.
[12] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Lihat: Al-Qur’an in word.
[13] Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, terjemahan Judi Al Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran”, (Semarang: CV. Wicaksana, 1989), Hal. 23-24.
[14] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Cet I, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 41.
[15] M. Quraish, Membumikan, Hal. 41.
[16] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Hal. 25-26.