MENUJU KEMESRAAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam wacana
pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan
agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam
semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup
untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam
Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu.
Turunnya ayat
pertama dalam Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu
(iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan
(jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional.
Pandangan ini juga
diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi
setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya
derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan
menggunakan akal (QS Yunus, 10: 101; QS al-Rad, 13: 3), yang mana kedua hal ini
merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai
fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan
akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.
Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka
akan terjadi mala petaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai
senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem
yang tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban
manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan
dari agama telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan
harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan
mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan[1].
Menurut M Amin Abdullah,[2]
Ibnu Rusyd merupakan ilmuwan muslim pertama yang menggunakan metode integralistik-teosentrik.
Dalam perkembangan keilmuan Islam,
terdapat pengelompokkan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara
implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini
terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Pada saat itu ada
sikap penolakan terhadap ilmu ilmu yang bersumber dari penalaran akal seperti
ilmu filsafat, ilmu matematika dan lain-lain.[3]
Sikap ini muncul akibat perbedaan pemikiran
yang menimbulkan adanya golongan-golongan dalam Islam. Sehingga umat Islam pada
saat itu mulai meninggalkan ilmu-ilmu yang dikategorikan dalam ilmu umum (ilmu
dunia) dan mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang.
Oleh
karena itu, untuk menanggulangi kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang,
khususnya di bidang ilmu pengetahuan, tentunya diperlukan suatu pandangan yang
integral dan komprehensif mengenai hubungan antara agama dan ilmu itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam kamus
umum bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mengartikan kata integrasi dengan
penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Integrasi merupakan
usaha untuk menjadikan dua atau lebih hal menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Ilmu dalam
bahasa indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris science yang
berarti mengetahui dan belajar, maka ilmu dapat berarti usaha untuk mengetahui
atau mempelajari sesuatu yang bersifat empiris dan melalui suatu cara tertentu.
Menurut James Conant (Fatah Santoso, 2004: 24) ilmu adalah
suatu deretan konsep dan skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, yang
tumbuh sebagai hasil eksperimen serta observasi, dan berguna untuk diamati
serta dieksperimentasikan lebih lanjut.
Lebih lanjut,
terminologi (istilah) ilmu merupakan sesuatu yang memiliki beragam makna.
Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu
merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang
dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada
ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada
masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal
tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan
pemahaman ilmu pada arti yang pertama.
Ilmu dapat pula
dibedakan berdasarkan maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam
arti pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis
dari pengetahuan. John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua
pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah.
Ilmu dalam
bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti ‘tahu’. Dalam bahasa Inggris
di sebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari
kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam
arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktifitas, sebagaimana dikatakan
Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sebagai
aktifitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode.
Titus
mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu
metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat membuktikan
kebenarannya.
Sedangkan,
konsep mengenai agama memiliki banyak sekali definisi (Endang Saefudin Anshari,
1987: 117-118), hal ini dikarenakan sifatnya yang subjektif sehingga
definisinya pun beragam sesuai dengan pemikiran orang yang mendefinisikan
tersebut.
Dalam
Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 November 1967, terkait dengan agama, H.M.
Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai problem of
ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali
menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama,
pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti
agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang
yang memberikan pengertian agama tersebut.
Agama secara
etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’.
Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak
berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti
jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan.
Selain dua
pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk
“negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga
dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan
kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.
Agama yang
dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman disebut religion atau dalam bahasa
Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu relege (to
treat carefully), relegare (to bind together) dan religare (to recover).
Dalam Islam
‘agama’ disebut dengan ‘dien’ yang oleh Moenawar Chalil dijelaskan bahwa: “Kata
dien itu mashdar dari kata kerja daana – yadienu. Menurut lughat, kata dien itu
mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: cara atu adat istiadat,
peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan,
pembalasan, perhitungan, hari kiamat,
nasihat, agama.”
Dalam Filsafat
Perennial, agama memiliki dimensi eksoterik (bentuk) dan esoterik (substansi).
Secara eksoterik di dunia ini dikenal banyak agama, namun diantara keragaman
agama tersebut setiap agama memiliki substansi yang menjadi titik temu bagi
keragaman tersebut. Agama yang dimaksud dalam tulisan ini secara eksoterik
adalah Islam, namun secara esoterik tentu Islam memiliki nilai-nilai universal
yang juga ada setiap agama.
Dari banyaknya
definisi yang ada, agama yang dimaksud di sini adalah agama Islam, yakni agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berlandaskan kitab suci al-Qur‘an.
Jadi yang
dimaksud dengan integrasi ilmu dan agama adalah upaya untuk menyatukan antara
ilmu dan agama Islam agar tidak terpisahkan satu sama lainnya.
B.
ASAL
MULA INTEGRASI ILMU
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi
ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual
Muslim, antara lain Naquid Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[4],
tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia, misalnya berpendapat bahwa umat islam akan
maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu
pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai
sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun
257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai
hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta
merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan
kesatuan dan hierarki ilmu ini, menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal
atau benda-benda.
Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya
satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari
ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu (Osman Bakar, 1998: 612). Dengan demikian,
gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama:
a.
Munculnya anbivalensi dalam
sistem pendidikan islam
b.
Munculnya kesenjangan antara
sistem pendidikan islam dan ajaran islam
c.
Terjadinya disintegrasi sistem
pendidikan islam
d.
Munculnya inferioritas pengelola
lembaga pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.
Ilmu tentang prinsip-prinsip
dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu
tentang akhirat, dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius.
b.
Ilmu tentang cabang-cabang
(furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang kewajiban manusia kepada
Tuhan, ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, dan ilmu tentang
kewajiban manusia pada jiwanya sendiri.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum
kedalam beberapa ilmu yaitu:
a.
Matematika, yang terdiri dari
aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, dan musik
b.
Logika
c.
Fisika atau ilmu alam, yang
terdiri dari kedokteran, meteorologi, minerologi, dan kimia
d.
Ilmu-ilmu tentang wujud di luar
alam atau metafisika, meliputi ontologi, pengetahuan tentang esensi,
pengetahuan tentang subtansi sederhana, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu
tentang kenabian dan fenomena kewalian, dan ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan
bumi untuk menghasilkan efek tampak.
C.
PERWUJUDAN
INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Keterkaitan Islam
dengan ilmu umum sebetulnya kelihatan sangat jelas. Tetapi anehnya,
ada saja sementara orang masih kebingungan. Mereka yang bingung itu mengatakan
bahwa, bagaimana mengkaitkan antara fisika dengan fiqh, masailul fiqh
dengan biologi, kimia dengan perbandingan madzah, dan lain-lain.
Biasanya orang yang kebingungan, atau sengaja membingungkan diri itu
membuat contoh-contoh tersebut untuk membenarkan pendapatnya, bahwa tidak
ada kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Akar
masalahnya sebenarnya adalah sederhana, yaitu mereka ingin menunjukkan
kecintaannya terhadap ilmu yang selama itu dikembangkan dan digelutinya.
Kecintaannya itu ditunjukkan lewat pendapat, bahwa ilmu ke-Islaman tidak
bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu
umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya
dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga
pendidikan yang berlabel agama dibawah naungan KEMENAG (Kementerian Agama)
sedangkan lembaga pendidikan yang umum berada dibawah KEMENDIKNAS (Kementerian
Pendidikan Nasional). Pandangan masyarakat terhadap kedua tipe lembaga
pendidikan ini mengisyaratkan secara implisit bahwa ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum memang harus dipisah.[5]
Mereka
mengkhawatirkan, ilmu yang dicintai itu terkalahkan oleh disiplin ilmu
lainnya. Oleh karena itu, ketika ada isu perubahan IAIN atau STAIN menjadi UIN,
mereka segera mempertanyakan posisi ilmu agama ke depan, jangan-jangan akan
berakibat sepi peminat, dan bahkan mati.
Padahal
sebenarnya, dengan konsep integrasi ilmu itu, justru yang disebut
ilmu agama menjadi lebih berkembang. Kehadiran UIN dengan konsep integrasi dan
atau interkoneksi itu dimaksudkan justru menghidupkan kembali ilmu agama. Ilmu
tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, adab, dakwah dan lain-lain akan lebih
berkembang. Bahkan perkembangan itu juga akan menyangkut perspektif
atau metodologinya.
Memang
mungkin ada resiko, yaitu misalnya akan terjadi perubahan atau pengembangan
wilayah kajian, konsep, dan lain-lain, sebagai hal logis dari bagian ilmu
pengetahuan yang memang seharusnya selalu berkembang.
D.
DINAMIKA DIALEKTIS SEPUTAR INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Di tengah pro dan kontra, pandangan akan
diskursus integrasi agama dan ilmu dewasa ini semakin lama semakin popular.
Jargon yang dikembangkan sekarang adalah bahwa Islam tidak mengenal dikotomi
ilmu pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban yang tinggi.
Bahkan juga muncul kritik tajam dari sebagian kalangan
dengan mengatakan bahwa, kemunduran ummat Islam, diantaranya
adalah sebagai akibat adanya dikotomi ilmu pengetahuan itu.
Bagi orang yang sudah lama
menggeluti bidang fiqh, aqidah, akhlak, tarekh, dan lain-lain,
atau disebut sebagai ilmu agama, ingin bertahan, bahwa ilmu agama
harus dipertahankan dan tidak seharusnya diintegrasikan. Hasil pemikiran para
ulama yang sudah sekian tahun, dan telah terdokumentasi menjadi
berbagai buku, kitab atau literatur, semua itu harus disebut sebagai ilmu, atau
tegasnya ilmu agama. Mereka belum percaya dengan konsep baru
tersebut, ilmu agama akan masih bisa bertahan.
Hal itu mendasarkan pada
kenyataan bahwa sumber-sumber rujukan yang digunakan adalah ayat-ayat al
Qurán dan hadits nabi. Maka itulah sebabnya, kajian tersebut dinamai
sebagai kajian Islam. Sampai di sini kiranya tidak ada pihak-pihak yang
membantah. Namun ada saja sementara orang
yang mengkritisi dengan mengatakan bahwa Islam tidak hanya
menyangkut persoalan fiqh, tauhid, akhlakh, tasawwuf, dan tarekh. Islam lebih
luas dari sebatas ilmu yang diklaim sebagai ilmu ke-Islaman itu.
Kitab suci al Qurán dan hadits nabi juga
memerintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan
tentang ciptaan langit dan bumi, menyuruh umat Islam untuk berpikir,
memperhatikan, dan melihat alam semesta ini. Bahkan dalam al Qurán
disebutkan ayat-ayat yang menantang manusia untuk memperhatikan alam hingga
sekecil-kecilnya, misalnya dengan kalimat: “tidakkah
kau perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan
dan bumi dihamparkan.” Ayat-ayat al Qurán seperti itu,
jika diresapi maknanya secara mendalam, maka sebenarnya secara langsung
dapat diartikan sebagai anjuran untuk mengggali ilmu pengetahuan
seluas-luasnya.
Persoalannya adalah bahwa selama ini
ayat-ayat seperti itu belum dijadikan dasar oleh para ilmuwan tatkala
mereka mempelajari alam. Para ilmuwan, seperti ahli biologi, kimia, fisika,
sosiologi, psikologi dan seterusnya dalam mengembangkan ilmunya tidak selalu
mendasarkan pada ayat al Qurán.
Sementara lainnya, orang-orang yang menekuni al
Qurán dan hadits selalu berhenti pada kajian kitab suci itu saja. Kajian al
Qurán yang dilakukan tidak sampai melahirkan semangat untuk
mengkaji ciptaan Allah secara mendalam lewat kajian ilmiah sebagaimana yang
dipesan al Qurán itu.
Inilah problem umat Islam yang sebenarnya.
Pemikiran untuk mengintegrasikan agama dengan ilmu pun belum bisa diwujudkan
secara lengkap dan sempurna. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa
keinginan untuk mengintegrasikannya pun masih terjadi dikotomi. Yakni tidak
seimbangnya kajian tentang al-Qur’an dengan penerapan di dalam mengkajinya
secara ilmiah ke dalam ilmu pengetahuan. Begitu pun sebaliknya, yakni pengkajian
keilmuan dilakukan secara ilmiah tetapi tidak dibarengi dengan mengkaji
al-Qur’an.
Pemikirannya
yang dikotomistik ini diperparah lagi dengan adanya imperialisme dari Barat,
yang mana juga memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler positivistik ke Dunia
Islam. Hal ini mengakibatkan semakin jelasnya perpisahan ilmu agama yang
dipertahankan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional dan ilmu umum
yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan umum yang sekuler.[6]
Seiring dengan
perkembangan zaman, hubungan antara ilmu dan agama mengalami perubahan.
Hubungan yang dimaksud adalah integrasi dan sekulerisasi. Pihak yang
menginginkan integrasi, mengusulkan agar ilmu dan agama disatukan kembali,
karena telah mengakibatkan banyak sekali bencana kemanusiaan. Sedangkan pihak
yang mengusulkan adanya sekulerisasi dalam kehidupan, menginginkan seluruh segi
kehidupan dipisahkan dari agama, termasuk bidang ilmu pengetahuan. Bahkan ada
sebagian cendekiawan muslim yang mengancam akan mengislamkan sains modern
dengan mencocokkannya dengan ayat-ayat al-Qur‘an (Nasim But, 1996: 46).
Upaya integrasi
ilmu dan agama di Indonesia telah diupayakan oleh para pemikir Muslim dan
penentu kebijakan. Sebagai contoh adanya upaya untuk mengubah lembaga
pendidikan tinggi Islam (IAIN) menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga
beberapa IAIN telah diubah menjadi UIN. Mau tidak mau dalam mata kuliah UIN
harus mengandung mata kuliah ilmu pengetahuan umum dan mendirikan fakultas
non-agama Islam (Adian Husaini, 2008: 54-64).
Para
cendekiawan Muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan
agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi pengetahuan. Upaya
islamisasi pengetahuan bagi kalangan Muslim yang telah lama tertinggal jauh
dalam peradaban dunia modern, memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut
adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”?
Ataukah berupaya keras mentransformasikan normatifitas agama, melalui rujukan
utamanya al-Qur‘an dan Hadits, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik?
Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat
dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan Muslim yang
pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut
adalah: Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur Rahman,
dan Ziauddin Sardar (Happy Susanto, 2008).
Kemunculan ide
islamisasi ilmu pengetahuan tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang
merupakan akibat langsung keterpisahan antara ilmu dan agama. Sekulerisme telah
membuat ilmu sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.
Pemikiran kalangan yang mengusung ide islamisasi ilmu pengetahuan masih
terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan
tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H telah menjadi tema sentral di kalangan
cendekiawan muslim.
Tokoh yang
mengusulkan pertama kali secara resmi upaya ini adalah filosof asal Palestina
yang hijrah ke Amerika Serikat Isma’il Raji al-Faruqi. Upaya yang dilakukan
adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal
ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.[7]
Upaya yang
lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi
Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada al- Qur‘an, menjadikan
al-Qur‘an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi.
Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Qur‘an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan
lil ’alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa
merasakan hasil dari objektifikasi ajaran Islam.[8]
E.
TIPOLOGI PEMIKIRAN HUBUNGAN INTEGRASI SAINS DAN AGAMA
Ian G. Barbour
dalam bukunya Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama mengatakan
bahwa hubungan sains dan agama selama ini mengkonstruk dalam empat gubungan,
yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi (Barbour, 2005:12).
Dalam hubungan
konflik, sains dan agama saling menegaskan kebenaran yang lain
(kontradiktif). Contoh nyata dalam hal ini adalah terjadinya penghukuman
terhadap Galileo Galilei yang diberikan Gereja Katolik pada abad ke-17. Namun,
tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap permusuhan seperti itu.
Sebagian besar
justru menganut pandangan independensi yakni bahwa sains dan agama
mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa
hidup berdampingan satu sama lain. Agama dianggap sebagai nilai-nilai,
sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dalam hubungan dialogis,
sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lain.
Pendapat ini tercermin dari perkataan fisikawan besar Albert Einstein, “Religion
without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam hubungan integratif,
baik sains maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar
mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa
meningkatkan kenyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu
atau pengalaman mistis. Pandangan integrative yang lebih fundamental atas
pandangan pluralisme epistemologi postmodern baik sain maupun agama dapat
bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubyektif yang
berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, maupun
filsafat yang setara satu sama lainnya (Barbour, 2005:12).
Ian G. Barbour
memaknai konsep integrasi di dalam hubungannya antara agama dan ilmu menjadi
dua. Pertama, bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi,
yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah. Kedua,
integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan
primordial.
Makna yang
pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu.
Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara
ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya
pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan
Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling
mendukung dan tidak saling bertentangan.
Ada beragam
konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen kontemporer Ian Barbour
mengajukan konsep yang dikenal sebagai integrasi teologis. Konsep ini berusaha
mencari implikasi teologis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu
teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai
salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama
“belajar dari ilmu”.
Pandangan
teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein
Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi
(belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu.
Tokoh Kristen yang lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah
konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya
mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandangan dasar agama tentang
realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya tentang Tuhan, surga
dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’ apriori,
misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara
rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat
melakukan langkah pertamanya sekalipun.
Integrasi yang
ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan agama, serta tidak
hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai
pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan
dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu.
Sedangkan Azyumardi
Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan
dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti
ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan
bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu
Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari
barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi
adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi
Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan
peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi
Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad
Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama
benar. Jamal al-Din al-Afgani menyatakan bahwa Islam memiliki semangat
ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali
kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.[9]
Kuntowijoyo
menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia
(other
worldly asceticisme).[10]
Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand
theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat
dipakai.[11]
Integrasi yang
dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan
Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
F. TELISIK
TEKSTUAL ALQURAN DAN ILMU
PENGETAHUAN (SAINS)
Agama Islam menempatkan ilmu dan ilmuwan
dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS
al-Mujaadilah, 58: 11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash baik al-Qur‘an
maupun al-Sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu
yang pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu yakni perintah
untuk membaca seperti yang terdapat dalam QS al-‘Alaq.
Artinya:
Bacalah
dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam.[12]
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq, 96:
1-5).
Umat Islam mendapatkan semangat yang
luar biasa karena banyak sekali perintah atau nash yang menyinggung masalah
keilmuan. Hal ini bisa dilihat pada masa awal Islam, banyak sekali kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal
dari agama dan peradaban selain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan
buku-buku dari Yunani dan Persia.
Namun usaha yang dilakukan tidak
terbatas sebagai penerjemah saja, tapi juga memberikan tambahan berupa saran
dan kritik terhadap ilmu yang dipelajari dari luar tersebut dan juga
mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan suatu teori
baru.
Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk
menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai
dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun
manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut
dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan
bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan (QS.Al-Nahl:
78). Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan
pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu
sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka
pengetahuan yang rasional.[13]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab
mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang
kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an
al-Karim. Namun Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali.[14]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran
teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang
lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan
logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam
Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll,
tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang
bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[15]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan
kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara
berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran
jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan
itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas
bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori
empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif
dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan
memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang
orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai
khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan
Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[16]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Integrasi ilmu agama dan umum
hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi,
epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut.
Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan
tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat
manusia seluruhnya. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni
mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan
kebajikan jagat raya, bukan malah menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi, dan
destruksi alam. Nilai-nilai itu tidak bisa tercapai bila dikotomi ilmu masih
ada seperti yang terjadi saat ini.
Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman, tetapi mempunyai
legitimasi yang kuat secara normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara
historis dari perilaku para ulama islam yang telah membuktikan sosoknya sebagai
ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kemajuan peradaban
manusia.
Saat ini, bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan baik
oleh pemerintah sendiri maupun para intelektual muslim. Tawaran model integrasi
yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan Tinggi islam masih menyisakan
perdebatan inter maupun ekstern mereka sendiri.Karenanya, model integrasi yang
dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan memerlukan evaluasi yang
terus-menerus dari semua komponen masyarakat pendidikan Indonesia.
Integrasi ilmu adalah keharusan bagi umat islam, oleh
karenanya tanggung jawab ini bukan hanya kewajiban pemerintah semata dan
Perguruan Tinggi Agama Islam, tapi juga kalangan Perguruan Tinggi Umum dan
seluruh umat islam yang menginginkan kemajuan islam dan peradaban manusia yang
lebih maju dari humanis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Cet.I. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar, 2006.
_______, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi.
Cet I. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan. Tanpa kota: tanpa penerbit, 1995.
Azra, Azyumardi. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
Bagir, Zainal Abidin (ed). Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
Departemen Agama RI. Alquran
dan Terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li
Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab. Al-Tarbiyah
Fie Kitab Allah, terjemahan Judi Al-Falasany. “Pendidikan Dalam
Alquran”. Semarang: Penerbit CV. Wicaksana, 1989.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Tanpa kota: tanpa penerbit, 2005.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju, 2005.
Nata, Abuddin. dkk. ”Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum”.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Said, Nurman. dkk. Sinergi Agama dan Sains. (ed) Cet
I. Makassar: Alauddin Press, 2005.
Shihab, M.
Quraish. Membumikan
Alquran. Cet. I. Bandung: Mizan, 1992.
[1] Abudin
Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005). Hal. 115.
[2] Pengantar
dalam Ibn Rusyd, Lihat: M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006). Hal. ii.
[3] Abuddin
Nata, Integrasi Ilmu, Hal. 115.
[4] Ismail
Raji’Al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, (tanpa
kota: tanpa penerbit, 1995). Hal. ix-xii.
[5] Pengantar
dalam Ibn Rusyd, Lihat: Abdullah, M. Amin. Islamic Studies, Hal. xiii.
[6] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (tanpa kota: tanpa
penerbit, 2005) Hal. 20.
[7] Isma’il,
Islamization, 1995. Hal. 55-57.
[8] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II,
Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2005).
Hal. 7-11.
[9]
Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu, Integrasi Ilmu dan
Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 206-
211.
[10] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Hal. 57-58.
[11]
Zainal Abidin Bagir (ed), Reintegrasi Ilmu-ilmu, Integrasi Ilmu dan
Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 49 –
50.
[12]
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Lihat:
Al-Qur’an in word.
[13] Syeikh
Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, terjemahan Judi
Al Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran”, (Semarang: CV. Wicaksana,
1989), Hal. 23-24.
[14] M. Quraish
Shihab, Membumikan
Alquran, Cet I, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 41.
[15] M. Quraish, Membumikan,
Hal. 41.
[16] Kuntowijoyo,
Islam
Sebagai Ilmu, Hal. 25-26.